Kategori
Guratan Kisah

DM Vs Co-Ass

Sebuah perenungan sampai pada kata apa yang paling tepat digunakan sebagai panggilan bagi orang-orang yang telah bergelar S.Ked dibelakang namanya. Hal ini cukup menggelitik saat minggu-minggu pertama bertugas di rumah sakit. Sebagai orang dengan pengetahuan dan keahlian yang tak lebih seujung kuku tampaknya perlu perenungan apa yang bisa dan tidak kita lakukan pada fase ini. Pengetahuan yang teruji dengan nilai IPK tidaklah cukup jika berhadapan langsung dengan pasien. Lebih-lebih pasien yang kita tangani memerlukan tindakan sesegera mungkin yang berlandaskan teori yang kita pelajari. Alhasil, pola pikir S.Ked belum setajam itu. Tindakan medis yang dilakuakan kebanyakan merupakan tindakan invasif yang tentunya memiliki resiko bagi diri sendiri atau pasien. Dahulu S.Ked hanya bergaul dengan maniqin, seahli itukah. Lalu bagaimana dengan posisi S.Ked pada struktur tugas tenaga medis di rumah sakit, pentingkah kita di rumah sakit atau seberapa penting rumah sakit bagi kita.

Dalam bahasan pertama mari kita menggunakan Dokter Muda (DM). Bekal yang paling penting yang perlu seorang DM bawa dari rumah adalah pengetahuan medis. Hal ini yang membedakan DM dengan tenaga paramedis yang lain. Proses pendidikan sarjana yang satu ini mungkin relatif singkat jika dibandingkan durasi pendidikan masa lampau. Begitu banyak bahan kuliah yang dijejalkan. Mungkin 90% atau 75% atau mungkin hanya 25% ilmu yang diserap dan mampu diingat kembali saat menjadi DM. Hal ini menjadi ironi saat kita bertugas yang berhadapan langsung dengan pasien. Pasien begitu mengharapkan orang yang sedang merawatnya mengerti betul penyakit yang sedang dihadapinya. Saat mengenakan jas putih dengan name tag berwarna putih atau saat mengenakan baju pink. Pasien tidak akan peduli siapa kita, mereka akan mengenal kita sebagai orang yang merawatnya. Mereka tidak peduli bahwa kita adalah dokter, residen, atau bahkan hanya sebatas DM. Kebanggaan yang kita letakkan untuk melapisi jas putih ini haruslah selalu didasari sebuah sikap untuk bertanggung jawab tentang ilmu yang kita miliki. Bila merasa ada yang kurang mengenai ilmu yang kita aplikasikan, haruslah dipupuk rasa ingin tahu untuk kepentingan pasien.

Selanjutnya untuk bahasan yang kedua mari kita mencoba sebutan Co-Ass (koass). Sebagai pendahuluan, koass disini bukan bentuk singkatan dari ‘kelompok serba salah’, melainkan Co Asisten. Sebagai operator tentu supervisor, asistennya adalah residen, dan yang membantu asisten adalah koass. Mungkin seperti itu diagram tugas koass. Dalam melaksanakan tugas keseharian koass akan lebih banyak belajar tindakan invasif minimal pada tenaga paramedis seperti pada perawat ataupun bidan bila betugas di kebidanan. Entah karena bawaannya atau karena koass nya yang tidak melakukan tugas dengan benar, biasanya kita akan mendapat sindiran dari mereka. Hal ini terkesan masuk akal jika kita memang tidak benar melakukannya dan pasien merasa dirugikan dengan apa yang kita lakukan. Semua tindakan kita usahakan untuk kebaikan pasien. Menggunakan alasan belum terampil tampaknya bukanlah alasan yang baik yang dapat digunakan untuk didepan pasien. Lain waktu kita sering diminta melakukan hal-hal yang sebenarnya sepele, namun terkadang karena ego yang kita miliki membuat pikiran negatif begitu lancarnya keluar. Hanya disuruh mengambil lab terkadang membuat kita mengeluh, kenapa harus koass. Apalagi jika nada menyuruhnya relatif keras. Yang harus diingat saya pikir adalah pasien, dan apa yang kita lakukan untuk membantu residen dalam upaya membantu pasien menemukan kata sehat.

Pernahkah kita memperhatikan struktur kerja dalam suatu rumah sakit, pusat ataupun daerah. Dalam pembagian tenaga medis atau paramedis, sebenarnya DM itu dimasukkan pada bagian apa? Fasilitas apa yang diberikan pihak kampus kepada SMF/bagian di rumah sakit? pada beberapa bagian hal ini mejadi alasan untuk membatasi koass untuk memanfaatkan fasilitas yang ada. Namun begitu kita tetaplah DM/koass.

Rumah sakit tak ayalnya seperti sebuah masa kepompong dalam pendidikan dokter. Ujian bukan hanya berasal dari supervisor, namun juga dari lingkungan kerja yang, penulis yakini, akan membentuk mental seorang dokter nantinya. Jika dengan hal seperti ini kita sudah keok, mau menjadi apa kita nantinya. Kebanggaan itu bagi beberapa orang menurut penulis sah-sah saja diletakkan untuk melapisi jas putih yang dikenakannya, namun dalam mengenakanannya harus terdapat tanggung jawab yang besar kepada pasien, bukan pada diri sendiri. Ucapan terima kasih yang diberikan pasien kepada kita saat kita usai melakukan tindakan agar selalu dijadikan cambuk untuk lebih bertanggung jawab akabn apa yang kita lakukan. Tak jarang saat pasien berterima kasih, kita menyadari apa yang kita lakukan belum sempurna.

Dalam proses pendidikan memang tidak mungkin tidak menimbulkan korban, namun jangan buat pasien itu menjadi korban. Jadikan mereka guru yang mengajarkan kita bagaimana cara menggunakan apa yang diberikan Tuhan pada kita.

480827_178412245609719_1167872318_n

Oleh anomnurcahyadi

Ayah, ASN, dokter, entrepreneur, WNI.

Tinggalkan komentar